Senin, Juni 09, 2008


Sastra adalah seni aksara yang mampu membuat pencerahan setiap insan yang membacanya. Dia bagaikan memberi setetes air dikala manusia dahaga. Saya nemu artikel yang sangat bagus dan mudah-mudahan aja bisa ngasih pencerahan dan obat keingintahuan dan juga membangkitkan minat membaca karya sastra. Nih artikelnya...

Sastra, Seni Berbohong yang Indah*
Denny Prabowo
Sekepul asap dari tembakau yang terbakar tersembur dari beberapa mulut penghuni aula ber AC, di sebuah hotel di kawasan kebayoran, Jakarta Selatan. Jarum jam menunjukan angka sepuluh. Malam merambat perlahan. Basa-basi dari ketua deputi bidang pemberdayaan pemuda membuka sesi pertama workshop yang digelar Creative Writing Institute—yang menjadi bagian dari acara Pekan Kretivitas Pemuda 2005. Dilanjutkan dengan tips menembus media dari Cavhcay Hermani, sebelum masuk ke diskusi utama hari pertama yang dimoderatori oleh Maman S. Mahayana. Hamsad Rangkuti yang menjadi tutor malam itu, berkisah tentang proses kreatif, bagaimana sebuah cerpen lahir dari tangannya. Menjadi semacam pengulangan dari tulisannya, Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen), yang pernah saya baca di dalam buku Bibir dalam Pispot.
Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan “SIM’-nya adalah bahasa, begitu tutur Hamsad Rangkuti yang kemudian disusul dengan sebuah pertanyaan dari salah seorang peserta workshop, tentang bagaimana mengemas sebuah fakta sensitif menjadi sebuah cerita tanpa membuat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya merasa perlu malakukan tekanan sebab cerita yang kita buat—sebuah pertanyaan yang akan langsung terjawab, jika saja kita telah membaca Jazz, Parfum dan Insiden karya seno Gumira Ajidarma yang menggabungkan roman metropolitan, esai jazz dan parfum dengan laporan jurnalistik tentang tragedi yang terjadi di Timor Timur (sekarang menjadi Negara Timor Leste). “Sastra adalah seni berbohong yang indah,” begitu kata Hamsad Rangkuti, menjawab pertanyaan itu, mengingatkan saya kembali dengan sebuah cerpen karyanya.
Apakah betul ada tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu? Bukankah itu kebohongan. Saudara telah menciptakan kebohongn. Tetapi, penyair itu menampik dan berkata, semua yang dia tulis adalah kebenaran. Benar adanya. Memang ada tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu. Aku tidak berbohong, kata penyair itu. Lalu aku bertanya adakah lautan air mata itu? Bagaimana Saudara tega berbohong tentang lautan air mata. Kalian telah terkepung oleh air mata kami, tulis Anda. Bagaimana anda bias meciptakan lautan air mata? Sesendok saja pun rasanya tidak mungkin. Bukankah Anda telah berbohong? Ya, saya telah berbohong, kata penyair itu setuju dengan pendapatku. Semua kita ini para pembohong. Berlindung dibalik kata imajinasi dan metafora-metafora kebohongan. Kebohongan adalah kebohongan. Berbohong dan imajinasi itu sama. Berbohong adalah berimajinasi.1
Karya sastra adalah tulisan fiksi berdasarkan imajinasi. Berbeda dengan nonfiksi yang merupakan tulisan berdasarkan fakta dan data. Tapi apakah karena alasan itu karya sastra pantas disebut sebagai sebuah kebohongan? Dalam sebuah esainya Seno Gumira Ajidarama mengatakan, Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran2. Yang kemudian dikoreksi sendiri oleh penulisnya dalam tulisannya yang lain, sebab dia meragukan apakah di dunia ini ada yang namanya kebenaran. Kebenaran itu memang relatif. Tergantung siapa yang mengatakanya. Bukan kebenaran yang menjadi dasar dari penulisan sebuah karya sastra, tapi realita. Ya, sastra bicara dengan realita. Oleh sebab itu terkadang seseorang bisa larut dalam kesedihan, kemarahan, kebahagiaan ketika membaca sebuah karya sastra, karena bisa jadi sebuah karya yang sedang dibacanya merupakan representasi dari pengalaman hidupnya atau harapan-harapannya. Bukankah hampir seluruh ide-ide cerpen yang ditulis Hamsad Rangkuti berasal dari kejadian-kejadian yang tertangkap mata dan telinganya? Hanya imajinasi yang kemudian membuat pengalaman yang sesungguhnya tidak terlalu menarik untuk diceritakan, menjadi sebuah bacaan yang tak hanya menarik untuk dinikmati, tapi juga memberikan pembelajaran, yang tak jarang menimbulkan efek pencerahan.
Bisa jadi tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke salemba sore itu tidak benar-benar ada seperti yang diakui penulisnya. Dan kalau saja berpasang-pasang mata dari seluruh penduduk Indonesia meneteskan air mata terderasnya, tak akan mungkin tercipta telaga air mata. Semua hanya ada dalam imajinasi penulisnya. Apakah karena sebab itu seorang sastrawan sudah bisa dikatakan sebagai seorang pembohong?
Karya sastra adalah karya fiksi. Disebut fiksi karena tidak sungguh-sungguh terjadi. Dan ketika sastrawan mempublikasikan karyanya sebagai karya fiksi, pembaca tentunya sudah mengetahui sejak awal kalau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya sastra yang dibacanya adalah tidak benar-benar nyata. Tidak kah itu bisa dikatakan sebagai sebuah kejujuran?
Sementara begitu banyak catatan sejarah dan berita-berita yang dipublikasikan, yang semestinya menjadi karya nonfiksi ternyata tidak sesuai dengan fakta dan data yang sesungguhnya. Dan kita sebagai pembaca, sudah terlanjur menerimanya sebagai karya yang benar-benar terjadi.
Loteng Rumah, 2 Pebruari 2005
* Dimuat di Majalah Sabili No.19 6 April 2006
_____________________________________________________________________________________
1. Cerpen Antena, dalam buku antologi cerpen karya Hamsad Rangkuti Bibir dalam Pispot hal 146-147
2. Kehidupan Sastra dalam Pikiran, terangkum dalam buku kumpulan esai Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

Tidak ada komentar: