Selasa, Agustus 05, 2008

BUKU YANG BERCAHAYA


Huy Friends, saya nemu artikel dari www.mizan.com yang ditulis oleh Pak or mas? Hernowo, nih dia:

BAGAIMANA MENGHASILKAN BUKU YANG BERCAHAYA?

Saya menganggap buku itu seperti makanan. Jika ada makanan yang bergizi, ada juga buku yang bergizi. Yang saya maksud buku yang bercahaya adalah buku yang bergizi. Kebergizian buku, menurut saya, terletak pada kualitas bahasa tulisnya. Apa pun tema yang diusung sebuah buku, jika bahasanya semrawut, tidak tertata, tidak “menggerakkan” pikiran, dan tidak juga menyentuh emosi (alias bahasa tulisnya tidak indah), buku itu akan menggelapi pembacanya.
Apa pun jenis buku yang ingin kita buat—termasuk juga buku pelajaran atau buku panduan untuk bahan pengajaran di sekolah—tetap dapat kita tampilkan menjadi buku yang bercahaya. Di samping soal bahasa tulis yang layak untuk mendapatkan titik tekan, kita juga harus memerhatikan secara saksama tentang pengemasan. Misalnya, bagaimana memadukan “bahasa kata” dan “bahasa rupa”, serta bagaimana agar ketika buku itu dibaca, buku tersebut dapat merangsang seluruh area otak pembacanya.
Bagaimana agar kita—sebagai penerbit, editor, proofreader, penulis—dapat menghasilkan buku yang bercahaya? Sebelum saya memberikan kiat-kiat menghasilkan buku yang bercahaya, saya akan menunjukkan terlebih dahulu manfaat buku yang bercahaya. Semoga dengan menghadirkan deretan manfaat sebuah buku yang bercahaya, kita kemudian terdorong (termotivasi) untuk menerapkan, secara kontinu dan konsisten, kiat-kiat menghasilkan buku yang bercahaya.
Manfaat Buku yang Bercahaya
Pertama, membangkitkan minat orang untuk membaca. Teks yang gelap (ruwet dan hampa) akan membuat si pembaca kelelahan dalam memahami teks tersebut. Sebaliknya, teks yang terang-benderang atau bercahaya akan membuat si pembaca senang dan bergairah untuk mencerna teks tersebut meski teks itu memendam persoalan yang pelik. Bayangkan jika banyak orang tertarik untuk membaca karena mendapatkan teks-teks bercahaya yang menyenangkan mereka.
Jadi, teks yang bercahaya akan membuat seseorang senang. Meminjam istilah dalam psikologi, teks-teks yang bercahaya akan menjadikan seseorang mampu membangun emosi positif. Menurut para pakar otak, emosi positif akan membuat otak dapat bekerja secara maksimal. Sementara itu, emosi negatif (yang diakibatkan oleh teks-teks yang gelap) akan membuat seseorang menggunakan otak paling rendah ketika berpikir, yaitu otak reptil yang reaktif (hadapi atau lari).
Kedua, menggairahkan orang untuk berpikir keras. Kepuasaan membaca itu akan dirasakan oleh seorang pembaca apabila, usai membaca, si pembaca memperoleh makna atau sesuatu yang mencerahkan, menggerakkan, dan membuka lebar-lebar pikiran. Jika teks itu hampa, tidak menghadirkan apa-apa, kerja keras pikiran dalam mencerna teks itu akan sia-sia. Nah, kerja keras pikiran akan menghasilkan sesuatu yang bermakna jika makna itu dibawa oleh teks yang tertata, teks yang bercahaya.
Apa efek dari tergairahkan, tercerahkan, dan terbukanya pikiran oleh teks yang bercahaya? Ada kemungkinan, orang yang mengalaminya akan mengabarkan kepuasan membacanya kepada orang lain. Artinya, buku yang dibacanya akan disebarkan dan dikabarkan ke orang-orang lain. Yang lebih dahsyat, efek dari hal ini adalah munculnya ide-ide baru dari diri orang yang mengalami pencerahan tersebut.
Ketiga, membagikan ilmu secara sangat efektif. Dalam Islam, ilmu yang bermanfaat diibaratkan sebagai sesuatu yang bercahaya. Buku adalah sarana paling efektif untuk membagikan ilmu yang bagaikan cahaya itu. Lewat buku, seseorang diajak untuk berpikir mendalam. Lewat buku pula seseorang tidak hanya memahami sesuatu hanya kulitnya. Dan lewat buku pula, seseorang dirangsang untuk memperkaya pemerolehan ilmunya (karena di dalam buku akan disebut sumber-sumber tepercaya yang dirujuk oleh si penulis buku).
Jadi, buku adalah sarana yang paling tepat untuk membagikan ilmu yang bermanfaat. Tetapi, apa jadinya, jika bahasa tulis yang digunakan oleh buku tersebut tidak bercahaya alias gelap-pekat? Apakah ilmu yang bercahaya itu akan dapat diserap oleh para pembacanya? Apakah peran buku sebagai pengedar ilmu akan bisa dimainkannya? Betapa ruginya si buku tersebut jika di dalamnya ada ilmu yang bercahaya, tetapi bahasa buku itu gelap-pekat?
Menghasilkan Buku yang Bercahaya
Saya tidak akan menyajikan kiat-kiat dalam bentuk praktis. Saya akan menyajikan kiat-kiat dalam menghasilkan buku yang bercahaya secara bercerita. Cerita pertama datang dari seorang doktor filsafat yang mencintai buku dan kegiatan menulis. Sang doktor ini bernama Mulyadhi Kartanegara. Di antara belasan karya berbobotnya, mencuat satu buku karyanya yang unik. Judulnya Seni Mengukir Kata. Dalam buku itu, dia bercerita, “Menulis sebagai seni, pada dasarnya sulit untuk dikuasai hanya berdasarkan teori. Ia memerlukan pengalaman, latihan-latihan, dan panduan-panduan yang ditulis oleh para penulis yang berpengalaman sehingga memiliki keinsafan dan kesadaran penuh akan problem-problem praktis yang sering dialami opleh para calon penulis.”
Cerita kedua datang dari seorang ahli linguistik bernama Stephen D. Krashen. Dr. Krashen menulis buku berjudul The Power of Reading. Buku ini berisi hasil-hasil risetnya tentang kedahsyatan membaca. Dalam salah satu halaman di bukunya itu, dia menulis sesuatu yang layak kita perhatikan secara saksama, “Akhirnya, kesimpulan saya sederhana. Jika seseorang mampu membaca dengan rasa senang, mereka akan memperoleh, secara tidak sengaja dan tanpa usaha yang dilakukan dengan sadar, hampir semua hal yang disebut ‘keterampilan berbahasa’. Mereka akan menjadi pembaca andal, mendapatkan banyak kosakata, mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menggunakan susunan kalimat yang bermacam-macam, mengembangkan gaya penulisan yang bagus, dan mejadi pengeja yang hebat (meski tidak sempurna)… Hasil-hasil riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca.”
Cerita ketiga berasal dari Elizabeth Winthrop. Dia berkata demikian, “Membacalah sebanyak-banyaknya. Belajarlah dari para pengarang yang terdahulu. Perhatikan bagaimana mereka menggunakan keahlian mereka. Penulis tak ubahnya seorang tukang kayu. Kita pun punya kotak peralatan yang berisi kosakata, tanda baca, struktur kalimat, sudut pandang, dan lain-lain. Semua ini adalah alat di dalam kotak peralatan kita. Semakin banyak Anda membaca, semakin banyak alat yang Anda miliki untuk ‘mendirikan bangunan’ cerita Anda. Maka teruslah membaca.”
Jadi, merujuk ke ketiga cerita di atas, menurut saya, seseorang yang ingin menghasilkan buku yang bercahaya—apakah itu penulis, editor, ataupun proofreader—dia perlu menjalankan kegiatan membaca yang “memperkaya” dirinya. “Memperkaya” yang saya maksud di sini, terutama, adalah memperkaya diri dengan kata. Membaca memang bisa mejadikan seseorang memiliki kekayaan selain kata, misalnya ilmu.Namun, saya ingin menekankan benar bahwa hanya dengan membacalah diri kita akan kaya raya dengan kata. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kata-kata yang masuk ke dalam diri kita. Merujuk ke pandangan Mulyadhi Kartanegara, membaca juga bermakna belajar kepada penulis lain tentang pengalaman menulis. Persoalannya sekarang, bagaimana agar diri kita benar-benar kaya akan kata-kata? Karena, setahu saya, ada juga orang yang sudah melakukan kegiatan membaca, namun ternyata dirinya tidak kaya akan kata-kata dan tidak mampu menyerap pengalaman-berharga penulis lain..
Nah, inilah kiat-kiat saya untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan memperkaya dengan kata dan pengalaman penulis lain:
Pertama, temukanlah buku yang bercahaya atau “bergizi”.
Kedua, gunakan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?) ketika ingin menjalankan kegiatan membaca.
Ketiga, jalankan kegiatan membaca secara “ngemil”.
Keempat, libatkan diri-pribadi (subjektivitas) Anda.
Kelima, “ikatlah” makna yang diperoleh dari membaca.
Kiat terakhir adalah kiat yang saya sebut sebagai “mengikat makna”. Kiat inilah yang akan membuat seorang pembaca dapat menjadikan kata-kata yang telah diserapnya itu menyatu dengan dirinya. “Mengikat” berarti menuliskannya. “Makna” adalah sesuatu yang sangat penting dan berarti bagi diri pribadi. Jadi, “mengikat makna” adalah kegiatan menulis, seusai membaca, di mana yang ditulis atau “diikat” adalah sesuatu yang mengesankan atau memberikan manfaat luar biasa bagi sang diri.
Demikianlah, semoga bermanfaat.

Gimana teman-teman, udah siap bikin buku yang bercahaya?

1 komentar:

adnan mengatakan...

Iya, semoga tulisan ini bermanfaat buat kita agar dapat membuat buku yang bercahaya. Selamat menulis...:)